Oleh Baty Subakti
Dalam perencanaan media konvensional, para praktisi periklanan sudah biasa menggunakan takaran intensitas kampanye berdasarkan besaran tiga unsur, yaitu Reach (R), Frequency (R), dan Continuity (C). R adalah jumlah khalayak yang dapat dijangkau, dan biasanya diupayakan minimum 75% dari universe-nya. F adalah banyaknya paparan yang akan diterima masing-masing khalayak sasaran, dan biasanya dianggap sangat efektif dalam julat 4,0 - 7,0 OTS (Opportunity To See) per Flight/Peak. Dan C adalah panjangnya rentang Flight/Peak, atau Campaign, disesuaikan dengan waktu atau siklus belanja konsumennya. Rentang C biasanya sekitar 13 minggu per Flight, atau total 39 minggu per tahun, dengan dua kali Break/Valley Ketiga unsur itu bersifat interdependen, dan salah satu selalu ditetapkan sebagai prioritasnya. Karena itu, optimisasi dari Media Plan tersebut akan tercapai jika ia dapat memenuhi prioritas yang ditetapkan terhadap salah satu unsurnya, namun tanpa mengorbankan kebutuhan minimal dari dua unsur lainnya. Besaran yang ditetapkan atas masing-masing unsur tersebut akan memengaruhi tingkat anggaran yang dibutuhkan untuk kampanye terkait.
Pada perencanaan media digital, ciri model komunikasinya ialah adanya interaksi antara pesan dengan khalayaknya. Karena itu, menurut para praktisi pakar, ada tiga faktor yang mesti ditransformasi dari perencanaan media konvensional ke perencanaan media digital, yaitu:
Pertama, dari 'Few to Many', menjadi 'One-on-one'.
Propaganda atau pesan iklan yang membombardir berulang-ulang di berbagai media hanya cocok bagi kampanye media konvensional. Ini karena digunakannya bebarapa jenis media sekaligus, untuk menjangkau khalayak sasaran yang profilnya cenderung amat lebar. Pada kebanyakan perencanaan media konvensional, segmentasi khalayak hanya sebatas geografis dan demografis. Akibatnya memang banyak nirkonsumen yang juga terimbas secara sia-sia. Sedang pada perencanaan media digital, Consumer Insight dilakukan lebih pada segmentasi psikografis dan perilakunya. Media Plan tidak lagi menyasar khalayak, tapi calon konsumen. Itu sebabnya saluran pesan tidak lagi perlu bersifat multimedia, tapi dapat dapat amat dipersempit, karena hanya mengarah ke kelompok-kelompok komunitas tertentu. Sasaran pesan iklan pun menjadi orang-per-orang dan kontekstual. Tepat sesuai dengan minat (baca: kebutuhan dan keinginan) calon konsumen masing-masing.
Kedua, dari 'Owned-Paid-Earned Media', menjadi 'Behavioral'.
Transformasi kedua menyangkut bauran medianya. Pada perencanaan media konvensional rujukan baurannya dikenal dengan isitlah SISOMO; 'Sight, Sound, and Motion'. Maksudnya harus merupakan kombinasi dari media-media yang dapat menyajikan visualisasi, suara, dan gerak. Lalu dengan makin menonjolnya peran media digital, model bauran ini kemudian disesuaikan. Peristilahan bauran media pun menjadi yang Owned ('Dimilki'; seperti telepon, komputer, TV siaran, radio, dsb.), Paid ('Dibeli'; seperti koran, majalah, tabloid, TV berbayar, dsb.), dan Earned ('Didapati'; seperti Facebook, Multiply, Twitter, Youtube, dsb.). Ditemukan catatan khusus tentang Earned Media ini, yaitu adanya konsep lain yang menganggapnya bukan sebagai kelompok jenis media tersendiri. Konsep lain ini mengaitkannya dengan kemampuan perencana media untuk mengolah media dan atau calon khalayak dari media-media yang Owned dan Paid untuk dijadikan yang Earned.
Ketiga, dari 'R-F-C' menjadi 'Empowerment'.
Transformasi ketiga ini perlu dilakukan dengan penalaran dan kecermatan. Ini berbeda dengan kedua transformasi lainnya yang sebenarnya terjadi dengan sendirinya saat kita membuat perencanaan periklanan media digital. Karena mentransformasi R-F-C menjadi Empowerment bukanlah situasi sebab-akibat, tapi harus 'by design'.
Transformasi ketiga ini mendayagunakan kemampuan digital untuk menjangkau khalayak secara amat tajam dan spesifik. Sasaran periklanan bukan lagi sekadar khalayak atau pasar, namun sudah berupa calon konsumen, atau bahkan konsumen yang sudah pernah membeli produk terkait. Secara hipotetis, para praktisi perencana media digital sekarang bisa menjual sesuatu produk dengan membuat R = 100%, F = 1 dan C = 0. Karena itu, pada model komunikasi seperti ini, memberdayakan konsumen (baca: Share) menjadi yang relevan dan penting, bukan optimisasi R-F-C.
Secara bisnis, di Indonesia kebutuhan akan perencanaan media konvensional saat ini masih jauh lebih penting ketimbang media digital, karena lebih dari 80% anggaran periklanan masih tersalur melalui media konvensional. Tapi dengan tingkat pertumbuhan yang lebih dari dua kali media konvensional, tentu pada saatnya nanti media digital akan menjadi pilihan utama para Pemasar.
Selain itu, meningkatnya pemanfaatan 'big data' dan 'automation', juga akan kian menggeser posisi media konvensional. Karena itu, nanti yang lebih relevan dan penting adalah mengidentifikasi dan memahami perilaku, dan memberdayakan konsumen. Menjadikan konsumen pelanggan setia, sekaligus mitra kita berjualan. Tak lagi perlu melalui kerumitan menghitung R-F-C. Para mitra berjualan inilah yang akhirnya akan Share pengalaman positif mereka kepada para calon konsumen lainnya. Dengan kata lain, tranformasi perencanaan media dari yang konvensional ke digital, adalah layaknya merancang Media Plan dengan R = 100%,F = 1, dan C = 0. Atau mentranformasi R-F-C menjadi Share. Mari persiapkan diri kita ke arah itu.