16 September 2016

IMC-360-OMC

Oleh Baty Subakti


Gagasan tentang Integrated Marketing Communications (IMC) pertama kali diperkenalkan oleh Don E. Schultz dan Heidi F. Schultz pada 1993. Konsepnya bertolak dari upaya mengintegrasikan segala kegiatan komunikasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kampanye. Untuk itu, tentu saja selain integrasi, diperlukan juga koordinasi. Setidaknya agar segala upaya komunikasi itu memiliki tujuan yang sama, dan dengan strategi yang saling mendukung pula. Dari sinilah kemudian munculnya kebutuhan akan adanya Strategic Planning di berbagai penyedia jasa kampanye.

Tepat satu dekade setelahnya para praktisi pakar seperti Mark Blair, Richard Armstrong, dan Mike Murphy menganjurkan pendayagunaan segala contact points, maupun kemitraan yang saling dukung untuk mengkampanyekan sesuatu Brand. Metodenya inilah yang dikenal dengan 360-degree Marketing, dan dimulai dari Brand Problem atau Brand Challenge, kemudian menggali media dan pesan terbaik untuk solusinya. Pendekatan holistik yang bertujuan, agar Brand terkait dapat terus-menerus terhubung dengan konsumen atau khalayak sasarannya. Belakangan konsep 360-degree Marketing ini juga diserap untuk derivatifnya. Maka istilah 360-degree itu pun lalu kerap digunakan juga pada Brand Building, Brand Management, Marketing Communications, Strategic Planning, sampai Media Campaign.

Tapi meski masih amat banyak yang belum memahaminya, era IMC dan 360-degree itu tampaknya telah berlalu dengan sendirinya. Ini ditengarai akibat perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen yang berdampak pada penyesuaian pendekatan terhadap Marketing. Karena itu kini muncul konsep baru, Orchestrated Marketing Communications (OMC). Ada dua perbedaan pokok antara keduanya.

Pertama, IMC berfokus pada seleksi media, dan dengan inti pesan yang relatif sama untuk semua media yang dipilih itu. Sedang OMC, meski tetap menjaga konsistensi isi pesan, namun menggunakan ide yang berbeda-beda untuk masing-masing media. Masing-masing pesan memiliki pendekatan yang berbeda, namun jika digabungkan dengan pesan dari media-media lainnya akan terbentuk simfoni yang harmonis, kuat, dan memukau. Itu sebabnya digunakan isilah orchestrated.

Kedua, IMC menjadikan periklanan atau komunikasi sebagai platformnya. Ciri khasnya adalalah integrasi dari sedikitnya lima komponen komunikasi, yaitu penjualan perorangan, periklanan, publisitas, promosi penjualan, dan kehumasan. Sedangkan platform OMC adalah Brand Idea, atau keunggulan khas dari Brand itu sendiri. Keunggulan khas inilah yang disebut high value idea. Karena itu solusi menggunakan OMC akan bertolak dari masalah yang sedang dihadapi oleh Brand terkait. Baik yang jangka pendek, seperti Leads, Sales, Revenue, dan Margin, maupun yang jangka panjang, seperti Knowledge, Attitude, dan Behavior konsumen atau khalayak sasaran.

Yang tidak banyak disadari adalah, bahwa meskipun OMC bertolak dari Brand Idea, namun untuk merealisasikan high value idea tetap dibutuhkan aktivasi kreativitas. Sedang aktivasi kreativitas ini juga tetap hanya dapat dihasilkan oleh tiga aktiviasi lainnya, yaitu Brand Activation, Channel Activation, dan Audience Activation. Padahal Brand-Channel-Audience adalah segitiga interdependensi yang sudah lama kita kenal, jauh sebelum adanya konsep OMC. Ia metamorfosa dari segitiga kuno Account-Creative-Media. Meskipun kemudian segitiga Brand-Channel-Audience ini dipertajam dengan istilah-istilah Brand Essence-Touchpoints-Alliance, namun ide dasarnya tetap sama.

Ini membuktikan, bahwa konsep, atau model yang terlihat baru itu, termasuk OMC, sebenarnya punya latar ilmu dasar yang sama. Perubahan lingkungan (teknologi dan perilaku konsumen) maupun penerapannya, telah menyebabkan para praktisi merasa perlu untuk melakukan penyesuaian istilah-istilah itu. Itu saja.


Copyright © 2015 ITKP | Terms of Use & Privacy Policy | Site Map
LiveZilla Live Chat Software